Potongan pendapatan dari aplikasi transportasi online menjadi salah satu sumber persoalan utama yang membelit para mitra driver ojek online (ojol). Masalah ini memicu aksi unjuk rasa besar-besaran, puluhan ribu driver dari berbagai platform memilih mematikan aplikasi sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dinilai tidak berpihak.
Di balik kenyamanan layanan yang selama ini kita nikmati, antar jemput harian, pengiriman makanan, hingga belanja cepat, tersimpan kenyataan pahit yang dialami para driver. Pendapatan minim, potongan yang memberatkan, kebijakan sepihak, dan ketiadaan perlindungan hukum membuat mereka tak sekadar bekerja, tetapi berjuang demi kehidupan yang layak.
Aldo Dihardiko Pradipto, alumni Untag Surabaya, dari Prodi Ilmu Komunikasi, yang kini menjalani hari-harinya sebagai driver ojek online membuka suara. Menurutnya, ekosistem transportasi online saat ini sedang dalam kondisi yang “tidak baik.” Perang tarif antar aplikator, potongan hingga 20% yang diberlakukan kepada mitra pengemudi, serta berbagai biaya tambahan yang dibebankan kepada konsumen, secara tidak langsung merugikan dua pihak sekaligus: driver dan penumpang.
“Sekarang tarif bersih bisa sampai Rp6.400, padahal harga BBM Pertalite saja sudah Rp10.000. Ini jelas tidak masuk akal,” tegas Aldo (27/5)
Masalahnya bukan hanya di angka. Tapi pada status yang terus menjadi perdebatan, mitra atau pekerja? Meski disebut mitra, para driver tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut langsung penghasilan mereka. Aplikator seringkali mengubah skema bonus, potongan, bahkan harga promo secara sepihak, tanpa konsultasi ataupun komunikasi. Maka, benarkah mereka mitra sejajar? Atau hanya sekadar tenaga kerja tanpa perlindungan hukum?
Lebih jauh lagi, performa driver kini sangat bergantung pada algoritma. Tidak narik sehari? Skor bisa turun. Libur? Orderan berkurang. Ini menjadikan driver berada dalam tekanan psikologis dan ekonomi.
“Mereka harus terus ‘narik’ agar tetap mendapat order. Itu artinya, hak untuk istirahat dan hidup sehat pun dipertaruhkan,” kata Aldo
Puncak keresahan ini meledak dalam aksi kolektif di Hari Kebangkitan Nasional yang digelar pada 20 Mei 2025. Para driver dari berbagai platform, Grab, Gojek, hingga Maxime, turun ke jalan. Tuntutannya jelas:
1. Penetapan regulasi tarif batas bawah roda dua/empat yang sudah mangkir tiga tahun.
2. Penerbitan sanksi tegas terhadap aplikator yang melanggar aturan.
3. Pengesahan Undang-Undang khusus transportasi online.
4. Penghapusan program diskon ekstrem dan orderan dobel yang merugikan.
5. Penurunan potongan aplikator dari 20% ke angka ideal 10%.
Gerakan ini bukan hanya soal angka. Ini adalah soal pengakuan atas kerja keras ribuan driver yang selama ini menopang sektor transportasi digital. Mereka bukan hanya titik-titik pada peta digital, tetapi manusia yang memiliki hak hidup layak, perlindungan hukum, dan suara yang perlu didengar.
Sudah saatnya negara hadir, bukan sekadar sebagai penonton. Kebutuhan akan regulasi yang adil dan partisipatif menjadi urgensi. Seperti yang ditegaskan Aldo, “Kalau tidak ada payung hukum, ya tetap akan begini terus. Harus ada perubahan.”
Kita, sebagai pengguna layanan transportasi online, juga perlu berpihak. Dengan kesadaran kolektif dan tekanan publik yang konsisten, perubahan bukan hal yang mustahil. Sebab, pada akhirnya, keadilan bukan hanya milik segelintir, tetapi hak setiap warga negara, termasuk para driver online. (Boby)