Bulan Juni bagi bangsa Indonesia bukan sekadar pengingat sejarah, melainkan sebuah perenungan spiritual dan kebangsaan. Di bulan inilah, pada 1 Juni 1945, Soekarno mengucapkan pidato monumental yang melahirkan dasar negara kita, Pancasila.
Bagi kami di Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya, bulan ini adalah waktu yang sacral. Saat dimana kita menundukkan kepala, menguatkan batin, dan bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh mana kita menjaga warisan “Putra Sang Fajar”
Saya teringat suatu percakapan lama tentang Pancasila dan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Saat itu seseorang menyampaikan bahwa ajaran monogami dalam Katolik mencerminkan luhurnya penghormatan terhadap martabat manusia. Di tengah diskusi itu, kami juga menyinggung fakta bahwa tanggal lahir saya kebetulan sama dengan Soekarno. Ia berkata, “Itu angka keramat bagi bangsa ini.”
Soekarno kecil yang baru berusia dua tahun tidur di pangkuan ibunya di serambi rumah. Sang ibu duduk menghadap ke timur, menanti matahari terbit. Saat cahaya mulai menyingsing, Soekarno dibangunkan, disuruh berdiri, lalu didekap erat di dada ibunya.
Dengan penuh keyakinan, sang ibu berkata “Kamu lahir ketika matahari menyingsing di ufuk timur. Kepercayaan Jawa, karena ada bayi lahir menjelang fajar menyingsing, maka dia akan menjadi seorang pemimpin, akan menjadi seorang yang punya cara berpikir yang luas. Karena lahir menjelang fajar menyingsing, maka engkau adalah Soekarno Sang Putra Fajar”
Soekarno bukan hanya lahir dari rahim ibunya, tetapi juga dari rahim peradaban Nusantara, perpaduan spiritualitas Jawa dari kakeknya, Islam dari ayahnya, Hindu-Buddha dari ibunya, dan rasionalitas modern dari pendidikan Barat.
Pancasila bukan teks kosong yang diturunkan dari langit. Ia adalah hasil perenungan, pembacaan sejarah, dan intuisi besar dari seorang pemimpin yang hidup dalam dan untuk rakyat. Di Ende, Flores, Soekarno bertemu dengan pastor Katolik tentang cinta kasih dan kemanusiaan.
Di Bandung, ia menyaksikan kemiskinan kaum Marhaen, lalu melahirkan doktrin Marhaenisme sebagai bentuk sosialisme Indonesia yang membumi. Dalam semua itu, ia tidak meniru, tapi menyaring. Ia tidak menyalin, tapi mencipta
Maka, ketika BPUPKI bertanya, “Apa dasar negara Indonesia merdeka?” Soekarno menjawab bukan dengan teori hukum tata negara, tetapi dengan jiwa bangsa itu sendiri. Lima sila yang ia tawarkan, nasionalisme, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Lima sila itu bukan sekadar prinsip, tapi kristalisasi dari pengalaman, penderitaan, dan cita-cita rakyat Indonesia.
Ketika diminta memberi nama, Soekarno menyebutnya “Pancasila”, sebuah istilah dari bumi Indonesia, bukan dari Barat. Pancasila adalah bahasa nurani bangsa ini, bukan jargon ideologis. Tapi anehnya, justru karena ia terlalu Indonesia, maka sepanjang sejarah, Pancasila terus diuji: dipelintir di era Orde Baru, dikebiri semangatnya, bahkan dihapus jejak kelahirannya pada 1 Juni. Baru di era Reformasi, kita mulai kembali ke jalan yang benar dengan mengakui Pancasila sebagai lahir pada pidato 1 Juni 1945.
Saya percaya bahwa Pancasila bukan hanya bahan ajar di ruang kelas, tapi nilai hidup yang harus diteladani. Kita tidak bisa hanya menghafalkan Pancasila tanpa menghidupkannya. Kita tidak bisa mengkultuskan Soekarno tanpa memahami kegelisahan dan strategi perjuangannya.
Soekarno pernah berkata: “Jangan sampai kalian mati sebelum berangkat.” Sebuah kalimat yang menunjukkan urgensi untuk bertindak, bukan sekadar mengenang. Dalam perjuangan, katanya, strategi harus tetap, tetapi taktik bisa berubah ribuan kali sehari. Itu sebabnya ia bersedia berunding dengan Jepang, bukan karena tunduk, tetapi karena tahu nama Indonesia harus lahir dulu, bahkan sebelum negaranya merdeka.
Lihatlah hari ini. Kita memang merdeka. Tapi apakah kita benar-benar sudah merdeka dalam berpikir, dalam berpolitik, dalam bernegara? Ataukah kita justru kembali terjerumus dalam oligarki, intoleransi, dan politik identitas yang mengoyak keindonesiaan kita? Ini bukan sekadar soal ideologi. Ini soal moral sejarah.
Bung Karno mewariskan tiga dokumen sakral bagi kita yaitu pidatonya pada 1 Juni 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan suratnya kepada Guntur pada 9 Juni 1958. Semuanya menegaskan bahwa Pancasila adalah jiwanya, dan jiwa bangsa ini. Maka, seperti kata Bung Karno, “Jas Merah!” Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah dan jangan sekali-kali menistakan Pancasila hanya sebagai dokumen arsip. Pancasila adalah napas, cahaya, dan jalan kita ke masa depan.
Bulan Bung Karno ini bukan waktu untuk seremoni kosong, tapi refleksi mendalam. Sudahkah kita mendidik generasi muda dengan semangat Pancasila yang sejati? Sudahkah universitas-universitas kita menjadi kawah candradimuka bagi calon pemimpin yang berjiwa Marhaen?
Jika belum, maka tugas kita masih panjang. Mari kita rawat Pancasila bukan dengan hafalan, tetapi dengan perbuatan. Sebab bangsa ini tidak butuh pahlawan baru, tetapi butuh generasi yang berani menghidupkan kembali cita-cita Putra Sang Fajar.
*) J. Subekti, S.H., M.M, Ketua Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya