Pendekatan Kolaboratif Jadi Jalan Tengah Larangan Penggunaan Cantrang di Lamongan

  • 20 Juni 2025
  • 27

Cantrang, alat penangkap ikan berbentuk jaring raksasa yang ditarik dengan perahu, tengah menjadi sorotan di kalangan nelayan dan pemerhati perikanan Indonesia. Alat tradisional yang memiliki jaring bermata kecil dan ukuran lebar ini sempat menjadi andalan nelayan di pantai utara Jawa karena kemampuannya menyapu bersih berbagai jenis ikan, dari yang besar hingga anakan, serta organisme laut lainnya. Daya tangkapnya yang tidak selektif, membuat cantrang dianggap merusak ekosistem dan mengancam kelestarian laut.


Pelarangan cantrang oleh pemerintah menjadi langkah strategis untuk melindungi sumber daya perikanan yang semakin menipis. Namun, di balik kebijakan tersebut, muncul berbagai dinamika pelik di lapangan, mulai dari resistensi nelayan, minimnya sosialisasi, hingga lemahnya pengawasan. Kebijakan yang dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan laut justru menimbulkan ketegangan antara regulasi dan realitas sosial ekonomi para nelayan.


Hal inilah yang menjadi fokus disertasi Tri Yudi Siswantoro, S.E., M.M., CIQaR, Wakil Komandan Komando Pendidikan Dukungan Umum Kodiklatal, yang tengah menempuh studi Doktor Ilmu Administrasi (DIA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untag Surabaya.


Pada sidang terbuka yang digelar Rabu, 11 Juni 2025, di Grha Wiyata Lt.1, Tri Yudi memaparkan penelitiannya berjudul “Implementasi Kebijakan Pelarangan Alat Penangkap Ikan Cantrang di Kabupaten Lamongan” di hadapan tim penguji yang diketuai Rektor Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., CMA., CPA.


Melalui pendekatan kualitatif dan triangulasi sumber, Tri Yudi mendalami proses implementasi kebijakan pelarangan cantrang di lapangan. Temuannya menggarisbawahi pentingnya model kolaborasi multipihak, yang melibatkan pemerintah, nelayan, akademisi, pebisnis, dan masyarakat sipil, demi keberhasilan kebijakan, keberlanjutan ekosistem laut, serta pemenuhan kebutuhan hidup nelayan secara manusiawi.


“Penguatan kolaborasi memang menjadi aspek penting. Dalam proses implementasi, nelayan bukan hanya dianggap sebagai objek kebijakan, tapi juga mitra. Dengan melibatkan nelayan secara langsung, diberi edukasi, dan diberi dukungan teknologi yang lebih ramah, kepatuhan terhadap regulasi dapat tercapai dan ekosistem dapat terjaga secara seimbang,” ujar Tri Yudi Siswantoro (11/6)


Disertasi ini juga menyoroti berbagai hambatan implementasi, seperti kurangnya sosialisasi kebijakan, rendahnya dukungan pemerintah daerah, serta minimnya kesadaran nelayan yang masih menganggap cantrang sebagai alat tangkap paling efektif dan ekonomis, warisan praktik yang turun-temurun.


Tak hanya itu, faktor eksternal seperti kerusakan ekosistem, perubahan iklim, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum semakin memperumit upaya pelarangan. Infrastruktur yang belum memadai, keterbatasan anggaran, serta konflik kepentingan antar kelompok nelayan juga menjadi tantangan serius.


Dari temuan tersebut, Tri Yudi Siswantoro menyimpulkan bahwa pendekatan kolaboratif adalah jalan tengah yang paling manusiawi dan realistis. Kebijakan tidak cukup hanya dibuat dan diumumkan, ia harus diiringi dengan edukasi, pelatihan, dan dukungan teknologi, sekaligus penguatan sinergi antar instansi, termasuk TNI AL, Polairud, dan pemerintah, dengan harapan kepatuhan nelayan dapat terwujud, ekosistem terjaga, dan perekonomian masyarakat pesisir dapat berjalan secara harmonis dan berkelanjutan.


Selain itu, disertasi ini mengajukan beberapa rekomendasi strategis, seperti perlunya perkuatan koordinasi, pembentukan badan pengawas, pelatihan penggunaan alat tangkap ramah, dan insentif untuk nelayan yang patuh. Hal lain yang tak kalah penting adalah peran media dan masyarakat sipil yang dapat turut menjadi mitra penting demi tercapainya visi perikanan Indonesia yang lestari.


Melalui penelitiannya, Tri Yudi memberikan peta jalan yang berguna bukan hanya bagi Kabupaten Lamongan, tapi juga dapat menjadi rujukan bagi daerah lain yang tengah bergelut mencari solusi implementasi kebijakan perikanan yang manusiawi, matang, dan sesuai visi keberlanjutan. (Boby)


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

\