Fenomena supranatural seperti santet, pelet, dan tenung masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Di balik cerita-cerita itu, ada persoalan hukum yang kompleks, terutama dalam hal pembuktian di ranah pidana. Inilah yang menjadi fokus kajian tim peneliti HPT Fakultas Hukum Untag Surabaya dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan bersama jajaran Ditreskrimum Polda Jawa Timur.
Kegiatan FGD berlangsung pada Kamis, 22 Mei 2025, di Ruang Rapat Lantai 7 Ditreskrimum Polda Jatim. FGD ini merupakan bagian dari penelitian bertajuk “Desain Model Penggunaan Saksi Paranormal Sebagai Alat Bukti Pada Kejahatan Santet Perspektif Kepastian Hukum”.
Penelitian diketuai oleh Dr. Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H., dengan anggota Dr. Yovita Arie Mangesti, S.H., M.H., beserta Dr. Frans Simangunsong, S.H., M.H., dan tiga mahasiswa dari Fakultas Hukum Untag Surabaya antara lain Arsyah Geuvarra, Rendy Arrofi, dan Andhika Tedja.
FGD ini turut dihadiri oleh dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya, Mays Amelia, S.H., M.H., bersama dua mahasiswa dari perwakilan Komunitas Peradilan Semu (KPS), dan dipandu langsung oleh Wadirreskrimum Polda Jatim, AKBP Suryono, S.H., S.I.K., M.H.
Diskusi berlangsung hangat dengan partisipasi aktif dari para penyidik dan penyidik pembantu yang hadir dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Mereka berbagi pengalaman langsung terkait penanganan laporan masyarakat mengenai praktik gaib seperti santet dan pelet.
AIPDA Effendi dari Polres Probolinggo menyampaikan bahwa pernah terjadi kasus di mana seseorang yang dituduh memiliki ilmu santet justru menjadi korban pengeroyokan. Karena tidak ada alat bukti yang mendukung dugaan tersebut, aparat menindak pelaku pengeroyokan, bukan orang yang dituduh melakukan santet. Pola serupa juga ditemui dalam kejadian di Tulungagung.
Beberapa laporan masyarakat mengenai santet juga tidak dapat ditindaklanjuti karena ketiadaan bukti yang memenuhi unsur pidana. Salah satu contoh terjadi di kawasan Tapal Kuda, ketika seorang warga melapor sebagai korban santet namun justru dijerat pasal pencemaran nama baik karena tidak mampu menunjukkan bukti kuat.
Dalam diskusi ini, para penyidik menekankan pentingnya penggunaan metode scientific criminal investigation untuk menelusuri peristiwa pidana. Mereka merujuk pada Pasal 252 KUHP Nasional, yang mengatur sanksi pidana bagi orang yang mengklaim memiliki kekuatan gaib yang dapat mencelakakan orang lain secara fisik atau mental. Namun, pembuktian atas klaim semacam ini tetap harus mengacu pada alat bukti yang sah menurut hukum, seperti diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 222 Rancangan KUHAP.
Kombes Pol. Andana turut membagikan kisah menarik yang pernah ia alami semasa bertugas di Tulungagung. Ia menceritakan tentang sosok “Kolor Ijo” yang diyakini memiliki kekuatan magis melalui sebuah batu gaib. Menurutnya, batu tersebut mampu mempengaruhi kesadaran orang-orang di sekitarnya. Batu itu kini dikubur dan hanya dirinya yang mengetahui lokasinya. Cerita tersebut menimbulkan respons kritis dari peserta diskusi karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Peserta FGD sepakat bahwa kesaksian dari paranormal tidak dapat menjadi alat bukti utama dalam proses hukum. Paranormal hanya bisa digunakan sebagai pendamping atau bukti penunjang untuk memperkuat bukti lain yang sah, misalnya berkaitan dengan benda tertentu yang ditemukan di lokasi kejadian. Karena tidak memiliki legitimasi keahlian dalam hukum, keterangan paranormal tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti yang berdiri sendiri.
Diskusi ini menegaskan kembali pentingnya menjunjung tinggi asas kepastian hukum dalam penanganan kasus-kasus yang menyangkut unsur mistik. Proses pembuktian harus tetap berpijak pada rasionalitas, bukan pada keyakinan personal atau cerita-cerita yang tidak dapat diverifikasi. Hasil FGD ini menjadi masukan penting dalam pengembangan model pembuktian yang adaptif terhadap kondisi sosial, namun tetap selaras dengan prinsip-prinsip hukum formal yang berlaku.
Reporter