Usianya kini telah menginjak 77 tahun, namun semangat belajar dan mengajar Prof. Dr. Ir. Wateno Oetomo, M.M., M.T. tak pernah surut. Ia bukan sekadar akademisi, melainkan saksi hidup yang menunjukkan betapa besar kekuatan pendidikan dalam mengubah nasib seseorang.
Lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 12 Juli 1947, tokoh akademik senior ini menapaki jalan hidup dari jalur yang tidak mudah. Latar belakang sederhana dan keterbatasan keluarganya justru menempanya menjadi pribadi tangguh, penuh dedikasi, dan teguh mengabdi.
Masa kecil Wateno dijalani dalam kesederhanaan. Di kota kecil itu, Wateno mulai menulis babak awal perjalanannya sebagai pencari ilmu. Langkah pertamanya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR), jenjang dasar pendidikan formal yang pada masa awal kemerdekaan menjadi pilihan utama bagi anak-anak Indonesia, terutama dari kalangan keluarga sederhana.
SR merupakan warisan sistem pendidikan era kolonial yang kemudian diadopsi sebagai fondasi pendidikan nasional pasca-kemerdekaan. Bagi Wateno kecil, sekolah itu bukan sekadar tempat belajar membaca dan berhitung, melainkan ruang untuk menata harapan anak-anak desa. Ia menamatkan pendidikan dasarnya di SR Kediri pada tahun 1964, sebuah tonggak awal yang membuka gerbang langkahnya menuju pendidikan yang lebih tinggi.
Setelah lulus SR, Wateno melanjutkan ke Sekolah Teknik (ST) di Jombang, lalu ke Sekolah Teknik Menengah (STM) Bangunan di Kediri, sebuah pendidikan kejuruan yang kala itu hanya sedikit siswa mampu menyelesaikannya.
Wateno menuntaskan STM pada tahun 1967, menjadi satu dari segelintir lulusan yang tetap teguh ingin melanjutkan pendidikan tinggi, meski peluangnya saat itu sangat terbatas.
Namun, semesta seolah berpihak pada kegigihannya. Ketika aturan umum mewajibkan lulusan STM memiliki dua tahun pengalaman kerja sebelum masuk perguruan tinggi, Universitas Brawijaya (UB) Malang jsutru membuka pintu.
Wateno diterima di jurusan Teknik Sipil UB pada tahun 1968, dan menyelesaikan studinya dalam tujuh tahun, waktu yang tergolong cepat di era ketika banyak mahasiswa membutuhkan lebih dari satu dekade untuk menyelesaikan kuliah.
Karier profesionalnya dimulai dari proyek Brantas di Malang, lalu berlanjut ke Kementerian Pekerjaan Umum (PU), khususnya di bidang Bina Marga yang menangani pembangunan jalan dan jembatan.
Di tengah kesibukan itu, semangat belajarnya tetap tidak padam. Pada tahun 1997, Wateno kembali ke bangku kuliah dan meraih gelar Magister Manajemen dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.
Semangat intelektualnya terus membara, Wateno meraih dua gelar doktor. Pertama, dalam bidang Ekonomi Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan kedua dalam bidang Teknik Sipil dari Universitas Tarumanegara Jakarta. Gelar doktor Teknik Sipil itu bahkan diselesaikannya hanya dalam 2,5 tahun, cerminan kuat untuk aktivitasnya sebagai dosen teknik sipil.
Puncak dedikasinya di dunia akademik ditandai dengan pengukuhan sebagai Guru Besar (Profesor) Teknik Sipil pada tahun 2008. Gelar ini menjadi penanda atas kontribusinya yang tak henti, terutama selama masa pengabdiannya di Untag Surabaya sejak 2002.
Prof. Wateno bukan hanya mengajar, tetapi juga membentuk arah keilmuan kampus. Ia menjabat sebagai Kepala Program Studi Magister Teknik Sipil selama lebih dari 15 tahun. Kini, di tahun 2025, ia dipercaya menakhodai Program Studi Program Profesi Insinyur Untag Surabaya, program yang menyiapkan insinyur profesional melalui skema Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).
Meski usianya telah melewati batas usia pensiun, Prof. Wateno tetap aktif mengajar dan membimbing mahasiswa di Untag Surabaya, kampus yang ia anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Di sinilah ia meraih gelar profesor, dan di sinilah pula ia terus menyalakan api pengabdian intelektual.
Ketika banyak sejawat seusianya memilih beristirahat, Prof. Wateno justru terus melanjutkan kiprah sebagai dosen luar biasa (LB). Baginya, pengajaran adalah panggilan jiwa, bukan sekadar profesi.
Dedikasi itu juga menjelma dalam peran lain, sebagai direktur perusahaan konsultan teknik Wira Indoraya di Sidoarjo. Bukan perusahaan biasa, melainkan ruang pembinaan bagi para lulusan teknik untuk mengasah kapasitas dan kompetensi mereka, bukan demi keuntungan, tapi demi pengembangan SDM teknik yang mumpuni.
Dari kediamannya di kawasan Aloha, Sidoarjo, Prof. Wateno menjalani hari-harinya dengan penuh rasa syukur atas perjalanan panjangnya dalam dunia pendidikan. Di balik semua pencapaiannya, ia tetap sosok sederhana dan hangat. Sebagai ayah dari tiga anak dan kakek dari empat cucu, keluargalah yang menjadi pelabuhan cinta sekaligus sumber kekuatan baginya.
Prof. Wateno Oetomo adalah potret ketekunan dan pengabdian tanpa pamrih. Dari masa sulit di kampung halaman hingga menjadi profesor Teknik Sipil yang disegani, ia membuktikan bahwa pendidikan dan kerja keras mampu mengubah jalan hidup siapa pun.
Pesannya kepada generasi muda selalu sederhana, namun penuh makna. Ia menekankan pentingnya keseriusan dalam menempuh pendidikan, sebab dunia kerja kini menuntut kesiapan dalam menghadapi persaingan global. Baginya, keberhasilan bukan hanya soal kecerdasan, tapi juga ketekunan, dan sedikit keberuntungan. (Boby)