Di tengah tantangan kompleksitas regulasi dan desakan kebutuhan deregulasi yang cepat di Indonesia, reformulasi metode omnibus menjadi topik penting dalam pembangunan sistem hukum yang berkepastian. Konsep good legislation making atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, menjadi landasan utama untuk menilai efektivitas dan kualitas hukum yang dibuat.
Prinsip-prinsip seperti keterbukaan, partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), kejelasan norma, serta legitimasi demokratis merupakan elemen yang tak bisa ditawar dalam proses legislasi modern. Sayangnya, metode omnibus yang akhir-akhir ini diterapkan di Indonesia, masih menyisakan banyak persoalan dari sisi substansi maupun prosedur.
Isu ini menjadi fokus utama dalam sidang ujian terbuka disertasi Ferika Nurfransiska, SH., MH., pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya. Sidang yang berlangsung Selasa, 27 Mei 2025 di Meeting Room Graha Wiyata lantai 1 itu dipimpin langsung oleh Rektor Untag Surabaya, Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., C.M.A., C.P.A.
Disertasi Ferika yang berjudul “Reformulasi Pengaturan Metode Omnibus dalam Perspektif Good Legislation Making” secara kritis menelaah praktik legislasi Indonesia yang menggunakan pendekatan omnibus, khususnya pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.
Dalam paparannya, Ferika menyampaikan bahwa meskipun metode omnibus dianggap sebagai solusi cepat deregulasi, praktiknya di Indonesia justru memunculkan tantangan serius. Di antaranya adalah tidak memadainya partisipasi publik, minimnya waktu untuk pembahasan, hingga kekaburan norma dalam beberapa pasal seperti Pasal 64 dan Pasal 96. Bahkan dalam perspektif filosofis dan teoritis, pendekatan omnibus saat ini dinilai belum memenuhi prinsip negara hukum yang demokratis.
"Pengaturan dalam UU 13/2022 masih perlu diformulasikan ulang, terutama soal batasan penggunaan metode omnibus dan keterlibatan masyarakat," ujar Ferika.
Ia juga menekankan pentingnya klasterisasi materi dalam omnibus law agar tidak menjadi big ugly bill yang sulit dipahami masyarakat. Menariknya, disertasi Ferika juga melakukan studi perbandingan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Turki yang sudah lebih dulu menggunakan metode omnibus, namun dengan batasan-batasan ketat seperti single subject rule. Hal ini memberikan pembelajaran penting bagi Indonesia agar tidak menyalahgunakan fleksibilitas metode omnibus untuk kepentingan kekuasaan semata.
Ferika berharap hasil penelitiannya bisa menjadi masukan konkret bagi DPR dan pemerintah dalam merevisi regulasi yang ada.
“Saya ingin hasil disertasi ini bisa membuka ruang untuk mengatur kembali metode omnibus secara lebih adil, demokratis, dan berkepastian hukum,” ungkapnya saat diwawancarai oleh reporter Warta17Agustus (27/5)
Dalam kesempatan yang sama, Ferika juga menyampaikan apresiasinya kepada Untag Surabaya yang menurutnya telah memberikan dukungan luar biasa dalam proses akademiknya.
“Meskipun PTS, kualitas pendidikan dan dosennya sangat mumpuni, tidak kalah dengan PTN,” ujarnya penuh semangat.
Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada promotor Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum. dan ko-promotor Dr. Syofyan Hadi, S.H., M.H yang membimbingnya melewati proses akademik yang penuh tantangan namun berharga.
Dengan disertasinya, Ferika tidak hanya menyelesaikan studi doktoralnya, tetapi juga memperkaya khazanah hukum nasional dengan gagasan reformulasi metode omnibus yang lebih adil, demokratis, dan berpihak pada masyarakat. Penelitiannya menjadi bukti bahwa UNTAG Surabaya terus konsisten melahirkan pemikir-pemikir hukum yang berani, kritis, dan berintegritas tinggi, siap menjadi agen perubahan bagi kemajuan bangsa. (Boby)